Falsafah Bajak dan Cangkul
Penulis dan pujangga dahulu kala banyak menuliskan karyanya dalam bentuk sandi atau
simbolis yang mana isi dan maksud yang terkandung di dalam hati serta sanubarinya diekspresikan dalam bentuk cerita yang berupa sanepa atau lambang yang nantinya kesemuanya diserahkan kepada para pembaca atau pemerhati untuk menafsirkan tentang makna atau artinya. Lebihlebih para penulis dan pujangga yang menuliskan karyanya di dalam bahasa Jawa, mereka lebih pandai lagi dalam olah sandi.
Harus diingat dan disadari bahwa menulis dan membuat cerita dalam bentuk sandi
adalah merupakan suatu seni, apalagi tulisan atau cerita sandi ini memang
membutuhkan suatu energi yang ekstra karena karya ini bersifat ganda atau
berlipat (reflection on reflection). Dalam artikel ini akan dikemukakan
pendapat pakar syariah yaitu Umar Hisyam (1974) dalam bukunya Sunan Kalijaga
tentang Falsafah Cangkul dan Bajak.
Lebih lanjut menurutnya, pada suatu hari Sunan Kalijaga sedang berjalan-jalan
bersama-sama dengan muridnya melewati beberapa hutan kecil dan sawah ladang
pada daerah Kadilangu, Demak, yaitu suatu daerah di mana beliau berdomisili dan
berada.
Di dalam perjalanan itu beliau menjumpai seorang petani yang sedang bekerja
menggarap sawahnya, lalu Sunan Kalijaga bertanya:
"Dengan apa kau mengerjakan sawahmu itu, Pak?"
"Dengan linggis tuanku" jawab petani.
"Berapa lama kamu dapat menyelesaikan satu petak sawah?"
"Sepuluh hari tuan".
"Begitu lama sekali", jawab Sunan Kalijaga sambil mengerutkan
keningnya tanda berfikir keras dan sangat iba akan perjuangan petani tersebut,
sesaat kemudian Sunan Kalijaga berkata:
"Kalau kamu mau Pak, ajaklah kawan-kawanmu bertandang ke rumahku, nanti
akan kuberi alat-alat pertanian, supaya kamu sekalian bisa dengan cepat
menyelesaikan pekerjaanmu dalam menggarap sawah yang satu harinya bisa
menyelesaikan satu petak sawah".
Beberapa hari kemudian setelah berembuk / bermufakat maka masyarakat
berbondong-bondong ke tempat Sunan Kalijaga dan di sana Sunan Kalijaga meminta
waktu untuk mengheningkan cipta serta berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa atau
berupaya minta pertolongan agar rakyat seluruhnya mendapat jalan yang cepat dan
terbaik di dalam mengerjakan sawahnya. Dalam sekejap saja terciptalah
beribu-ribu alat pertanian antara lain cangkul dan bajak, kemudian alat itu
dibagi-bagikan kepada para petani.
Akhirnya Sunan Kalijaga menjadi terkenal di kalangan masyarakat dan menjadi
buah bibir di seluruh pelosok desa dan kampung se kabupaten Demak, bahkan
sebagai ilustrasi murid dan pengikutnya makin banyak pula yang berasal dari
daerah sana.
Dari cerita sandi di atas mari kita berenung sejenak untuk menafsirkan
makna bajak dan cangkul yaitu:
1. Bajak
Terdiri dari beberapa bagian yang kesemuanya itu mempunyai makna-makna
tersendiri, yaitu:
a. Pegangan
Penafsiran yang bisa disampaikan bahwa kepada kita di dalam usaha mencapai
cita-cita hidup ini, manusia haruslah mempunyai pegangan dan pedoman hidup atau
dasar falsafah hidup yang kuat, agar tidak mudah digoda atau diombang-ambingkan
suasana atau dengan kata lain mempunyai ketenangan jiwa dan stabil.
b. Pancadan
Berasal dari kata mancad = bertindak. Artinya, bila manusia telah mengetahui
akan pedoman-pedoman hidup di atas tadi, haruslah mereka berbuat yang sesuai
dengan ilmu yang dimiliki. Jadi ilmu hendaknya diamalkan, bila tidak, maka
tidak akan bisa mencapai cita-cita hidup yang telah didambakan dengan kata lain
tidak akan mendapat keberkahan.
c. Tanding
Artinya membanding-bandingkan. Walaupun telah memiliki, mengetahui atau
mempunyai ilmu tinggi, janganlah kita fanatik buta. Berlapang dadalah,
yaitu dengan cara memperbandingkan atau mengujinya serta belajar lagi dan
mengikuti perkembangannya karena tidak ada kehidupan yang statis tapi dinamis.
d. Singkal
Berasal dari bahasa Jawa yang berarti sugih atau kaya akan akal fikiran. Bila
kita pandai akan bisa dan piawai membandingkan antara satu dengan yang lain,
maka akan memperofeh ilmu dan pengalaman hidup yang sangat briliant.
e.
Kejen
Dari kata ke-ijen, kepada satu, hanya untuk satu, yaitu satu pikiran yang
dipusatkan kepada satu tujuan, yakni cita-cita hidup manusia untuk bisa
dicapai masyarakat adil dan makmur.
f. Olang-aling
Rintangan, artinya segala sesuatu yang menuju kebaikan dan keutamaan pasti
mengalami rintangan akan tetapi semua bisa dilalui dengan selamat sentosa.
g. Racuk
Berarti ke arah pucuk, yaitu setelah rintangan-rintangan dapat diatasi, maka
masyarakat sampailah pada cita-cita mulia yaitu adil dan makmur serta
tentram.
2. Cangkul
Terdiri dari tiga bagian, yakni: pacul, bawak dan doran.
a. Pacul
Adapun makna atau tafsiran yang terkandung dari pacul yaitu sebagai berikut:
Ngipatake prakara kang muncul, artinya melemparkan segala sesuatu yang nongol
ke permukaan, segala sesuatu yang tidak beres, segala sesuatu yang
menonjol yang tidak benar dan mengganggu dalam kehidupan harus dihilangkan dan
dihindarkan supaya mendapatkan kehidupan yang aman dan tenteram.
b. Bawak
Obahing awak, artinya bergeraknya anggota badan. Di dalam mencapai cita-cita
manusia haruslah rajin. Obahing awak artinya bekerja giat dan rajin, tidak
hanya menanti taqdir saja, tetapi hendaknya dengan usaha yang nyata, artinya
dengan segala ikhtiar. Penulis ingatkan kepada kita seluruhnya bahwa
"usaha tanpa doa adalah takabur dan doa tanpa usaha adalah sia-sia".
c. Doran
Ndedonga marang Pangeran, artinya memohon kepada Tuhan. Agar mencapai ke arah
cita-cita, juga dengan jalan berdoa kepada Tuhan, karena hanya kepada Tuhanlah
tempat segala meminta pertolongan dan siapapun kita dan apapun pangkat kita,
akhirnya Tuhan jualah yang menentukan.
Berdasarkan falsafah di atas yang sudah dituliskan oleh para penulis pendahulu
kita, maka penulis juga akan ingatkan karya pujangga Raden Ngabehi
Ronggowarsito yang dianggap dan terkenal sebagai ramalan Jayabaya pada bait
sebagai berikut:
Amenangi
zaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan ora tahan
Yen ora milu anglakoni
Boya kaduman melik, kaliran
weksanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kanglali
Luwih begja kang eling Ian
waspada
Terjemahannya lebih kurang sebagai berikut:
Hidup di jaman gila
Memang susah
Mencoba ikut tidak sampai
hati
Malau tidak mengikuti
Tak memperoleh apapun,
akhirnya menderita kelaparan
Namun sudah menjadi
kehendak Yang Maha Kuasa
Meskipun yang lupa hidup
makmur
Masih lebih bahagia yang
senantiasa ingat dan waspada
Itulah yang bisa penulis sampaikan terutama buat diri kami semoga bisa
bermanfaat dan menambah nuansa kita mengenang falsafah dan sejarah bangsa kita
sendiri dewasa ini.
Oleh : Ir. Dasril Munir, MM dan
Didit Eko Setiawan, ST.
Penulis adalah auditor
Itjen DKP
Sumber: Majalah Sinergi,
2005
0 Response to "Falsafah Bajak dan Cangkul "
Post a Comment