Perbedaaan Agriculture versus Agribisnis
Berdasarkan sejarah perkembangannya pertanian dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu :
1.
Pemburu dan pengumpul. Manusia
pertama hidup di daerah hutan tropik di sekitar laut Cina Selatan yaitu bangsa
Alitik (prapaleolitik) yang merupakan kelompok manusia pengumpul makanan dan
berburu serta menangkap ikan.
2.
Pertanian Primitif .Ketika manusia
pengumpul dan berburu mulai berusaha menjaga bahan makanan maka mulai terjadi
suatu mata rantai antara periode pengumpul dan berburu dengan pertanian
primitif.
3.
Pertanian tradisional orang menerima
keadaan tanah, curah hujan, dan varietas tanaman sebagaimana adanya dan
sebagaimana yang diberikan alam. Bantuan terhadap pertumbuhan tanaman hanya
sekedarnya sampai tingkat tertentu seperti pengairan, penyiangan, dan
melindungi tanaman dari gangguan binatang liar dengan cara yang diturunkan oleh
nenek moyangnya.
4.
Pertanian Progresif (Modern). Manusia
mengguanakan otaknya untuk meningkatkan penguasaannya terhadap semua yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan hewan.
Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan
aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari
itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood)
bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai
sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku
sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus,
melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius.
Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya
unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan
sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan
sistem pertanian.
Paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan
Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis.
1.
Pertama, adalah suatu kebenaran umum
bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di
Indonesia.
2.
Kedua, pertanian adalah komponen
rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja
sistem komoditi secara keseluruhan.
3.
Ketiga, pendekatan sistem agribisnis
adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap
sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif.
4.
Keempat, Sistem agribisnis secara
intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan
5.
kelima, pendekatan sistem agribisnis
khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang.
Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti
segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk
sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten
sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan
“produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung
dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi.
Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan
perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji
lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma
yang menjadi arah kebijakan tersebut.
Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan
aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih
sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi
komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri.
Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan
sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan,
seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam
usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap
kegiatan usaha para petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan
orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong dalam
kegiatan mereka.
Paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu
kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya
petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu
pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya
kita pertanyakan kembali.
Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem
nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri,
yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian.
Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi
peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi
kesejahteraan petani.
Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan
struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi,
produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat
kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik.
Dari sudut
pandang kelembagaan, struktur agribisnis di Indonesia untuk hampir semua
kornoditas
masih tersekat·sekat. Struktur yang
tersekat-sekat ini tentunya
menjadi
penghambat utama pembangunan
agribisnis di Indonesia.
Struktur agribisnis yang tersekat-sekat ini dicirikan oleh
beberapa hal
sebagai berikut :
1.
Pertama, subsistem
agribisnis hulu (produksi dan perdagangan sarana produksi pertanian)
dan subsistem agribisnis hilir (pengoIahan hasil pertanian dan
perdagangannya) dikuasai oleh pengusaha menengah dan besar
yang bukan
petani. Petani sepenuhnya hanya bergerak pada
subsistem
agribisnis penghasil produk primer.
2.
Kedua, antar subsistem
agribisnis
tidak ada hubungan organisasi fungsional dan hanya
diikat
oleh
hubungan pasar produk antara yang
juga
tidak
sepenuhnya
kompetitif.
3. Ketiga, adanya asosiasi pengusaha yang bersifat
horizontal dan cenderung berfungsi sebagai kartel. Berbagai asosiasi
pengusaha ini dapat ditemui
pada
subsistem agribisnis hulu maupun
subsistem agribisnis hilir.
4. Keempat, agribisnis dilayani oleh paling
sedikit lima departcmen teknis (Pertanian, Kehutanan, Perindustrian dan Perdagangan, Tenaga Kerja
dan
Transmigrasi, Koperasi dan PPK). Berbagai departemen ini tentunya memiliki visi
ataupun
mandat yang berlainan, sehingga berbagai kebijakan
yang
ditujukan pada agribisnis belum tentu integratif dan selaras
satu dengan
lainnya
dipandang dari sudut agribisnis
sebagai
suatu sistem.
Permasalahan struktural yang
dihadapi agribisnis tersebut juga berakibat pada
lemahnya daya
saing
agribisnis,
Struktur agribisnis
yang tersekatsekat dapat menciptakan masalah transmisi dan masalah
marjin ganda.
Masalah transmisi ini terjadi
dalarn berbagai bentuk, sepcrti misalnya transmisi harga
yang
tidak
sirmetris.
informasi perubahan preferensi konsumen yang
tidak
dapat
sampai dengan baik
ke arah
subsistem hulunya, serta
adanya
inkonsistensi mutu produk
sejak dari
hulu sampai
ke hilir dalam
sistem
agribisnis.
Lebih jauh
lagi,
struktur yang
tersekat-sekat menjadikan inovasi berjalan lambat disetiap subsistem agribisnis. Sedangkan marjin ganda di agribisnis terjadi
melalui praktek
penetapan harga
yang
jauh
di atas harga pada
kondisi
kompetitifnya di setiap subsistem yang tersekat·sekat tersebut.
Dampak nyata
dari
marjin
ganda
ini adalah harga pokok penjualan produk
akhir
agribisnis menjadi relatif tinggi, sehingga daya
saingnya menjadi rendah, Masalah transmisi dan masalah marjin ganda juga berdampak buruk
bagi investasi dibidang agribisnis, karena masalah tersebut dapat
menyebabkan naiknya resiko usaha.
Penataan
dan
pengembangan struktur agribisnis nasional perlu diarahkan pada dua sasaran
pokok, yaitu: Pertama, mengembangkan struktur agribisnis yang
terintegrasi secara
vertikal mengikuti aliran
produk, Struktur agribisnis yang
terintegrasi secara
vertikal ini memungkinkan subsistem agribisnis dari
hulu
sampai
hilir
dikelola dengan efisien dan
saling mendukung satu
subsistem dengan subsistem lainnya.
Kedua, mengembangkan organisasi bisnis pctani agar
mampu
mcmperoleh nilai tambah yang ada di subsistcm
hulu maupun
hilir
dari sistem ngribisnis. Secara individu petani akan sulit merebut nilai tambah
tcrsebut.
Keberhasilan pembangunan agribisnis di Indonesia ditentukan juga oleh
arah kebijakan ekonomi
makro. Pembangunan yang diarahkan pada industrialisasi yang tidak memiliki basis sumbcrdaya yang kuat, seperti industri substitusi impor, sering
melahirkan kebijakan
kebijakan makro yang
mengharnbat perkembangan agribisnis.
Pembangunan
pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang
pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang
paling kurang beruntung di perdesaan./***
Di
kutip dari ; Makalah ANALISIS
PERUBAHAN PARADIGMA PERTANIAN AGRIBISNIS MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN SECARA
FILSAFAT ILMU DI INDONESIA Penulis IDAWATI Program Studi Ilmu Penyuluhan
Pembangunan IPB 2016.
0 Response to "Perbedaaan Agriculture versus Agribisnis "
Post a Comment