Alih Fungsi Lahan Sawah, Salah Siapa…..?
Adalah sebuah realitas jika dari tahun ke-tahun jumlah penduduk akan semakin meningkat. Dengan trend laju pertambahan penduduk yang meningkat, maka peningkatan ketersediaan pangan adalah suatu kebutuhan.
Robert
Thomas Malthus (1766-1834) dalam bukunya yang paling terkenal Principle
of Population (1798) mengungkapkan bahwa
"Laju pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan laju
pertumbuhan bahan pangan mengikuti deret hitung". Artinya laju pertumbuhan
penduduk lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan pangan.
Dalam perspektif
Ketahanan Pangan, jika kebutuhan pangan penduduk meningkat, maka konsekuensi
kecukupan produksi pangan (khususnya pangan pokok) adalah sebuah kepastian yang harus ditempuh. Bagaimana
pun juga tidak bisa dipungkiri bahwa produksi pangan yang dihasilkan akan
sangat tergantung terhadap daya dukung lahan pertanian. Baik secara kualitas (tingkat
kesuburan) maupun secara kuantitas (luasan) ketersediaan lahan pertanian
menjadi determinan utama dalam usaha menyediakan pangan pokok manusia.
Diantara
sekian banyak hal dalam penataan ketahanan pangan, salah satu persoalan yang
masih menjadi pusat perhatian kebijakan nasional dewasa ini yaitu persoalan alih fungsi lahan pertanian
khususnya Alih Fungsi Lahan Sawah (AFLS).
Kondisi
umum tentang alih fungsi lahan sawah ini mudah untuk dicermati, yakni sejauhmana
dan seberapa banyak kasus atau peristiwa dimana lahan sawah produktif berubah fungsinya
menjadi lahan non pertanian. Apakah itu untuk fasilitas umum, permukiman,
perkantoran, industri, atau untuk hal lainnya di luar fungsi utama lahan sawah sebagai
“mesin” penghasil pangan,
Semudah
itulah kita memahami sebuah kenyataan tentang apa yang disebut dengan AFLS. Sebuah
konsekuensi yang harus diterima bahwa ada relasi kuat antara pertumbuhan
penduduk dengan segala aktivitasnya terhadap tekanan pemanfaatan sumberdaya
alam khususnya lahan pertanian.
Berangkat
dari asumsi diatas, kita meyakini bahwa kondisi alih fungsi lahan pertanian
khususnya AFLS adalah sebuah keniscayaan, atau dengan kata lain keniscyaan yang
berujung pada sebuah “keadaan yang memaksa”.
Kalau
kita dekati dari pola AFLS yang terjadi saat ini, maka akan ditemukan dua pola,
yaitu AFLS yang bersifat sistematis dan bersifat sporadis. Alih fungsi yang
bersifat sistematis terjadi dalam skala luasan yang besar (puluhan bahkan
ratusan hektar), dan lazimnya dilaksanakan oleh korporasi. Alih fungsi lahan
sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan, kawasan pemukiman (real
estate), jalan raya, komplek perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan
terbentuknya pola alih fungsi yang sistematis. Lahan sawah yang beralih fungsi
pada umumnya mencakup suatu hamparan yang cukup luas dan terkonsolidasi.
Di sisi lain, AFLS yang dilakukan sendiri oleh
pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah yang
terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara
langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain sebelumnya
diawali dengan transaksi jual beli lahan sawah.
Setidaknya
ada empat hal yang melatarbelakangi atau menyebabkan terjadinya alih fungsi
lahan pertanian (AFLS ) yaitu ;
1. Faktor
Kependudukan.
Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan
permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya.
Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan
tambahan permintaan lahan akibat peningkatan intensitas kegiatan masyarakat,
seperti lapangan golf, pusat perbelanjaan, jalan tol, tempat rekreasi, dan
sarana lainnya. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian yang memerlukan
lahan yang luas, sebagian diantaranya berasal dari lahan pertanian termasuk
sawah.
Hal ini dapat dimengerti, meningat lokasinya dipilih
sedemikian rupa sehingga dekat dengan pengguna jasa yang terkonsentrasi di
perkotaan dan wilayah di sekitarnya (sub urban area). Lokasi sekitar kota, yang
sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, menjadi sasaran
pengembangan kegiatan non pertanian mengingat harganya yang relatif murah serta
telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan raya,
listrik, telepon, air bersih, dan fasilitas lainnya.
Selain itu, terdapat keberadaan “sawah kejepit” yakni
sawah-sawah yang tidak terlalu luas karena daerah sekitarnya sudah beralih
menjadi perumahan atau kawasan industri, sehingga petani pada lahan tersebut
mengalami kesulitan untuk mendapatkan air, tenaga kerja, dan sarana produksi
lainnya, yang memaksa mereka untuk mengalihkan atau menjual tanahnya.
2. Faktor
ekonomi,
Tingginya land
rent value yang diperoleh aktivitas
sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk
berusaha tani disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil
pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu, karena faktor kebutuhan
keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan
keluarga lainnya (pendidikan, mencari pekerjaan non pertanian, atau lainnya),
seringkali membuat petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan
pertaniannya.
3. Faktor
sosial budaya,
Terjadi antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan
terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala
ekonomi usaha yang menguntungkan.
4. Degradasi
lingkungan,
Dampak perubahan iklim seperti kemarau panjang yang
menimbulkan kekurangan air untuk pertanian terutama sawah; penggunaan pupuk dan
pestisida secara berlebihan yang berdampak pada peningkatan serangan hama
tertentu akibat musnahnya predator alami dari hama yang bersangkutan, serta
pencemaran air irigasi; rusaknya lingkungan sawah sekitar pantai mengakibatkan
terjadinya instrusi (penyusupan) air laut ke daratan yang berpotensi meracuni
tanaman padi.
Alih
fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang
serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan
masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi
tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi dan sangat
tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi
teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan
kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju.
Proses
alih fungsi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait
dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus
ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan
kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan
kebutuhan mendasar (prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk
lahan tempat tinggal pemilik lahan yang bersangkutan).
Proses
alih fungsi lahan sawah cenderung berlangsung lambat jika motivasi untuk
mengubah fungsi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah, misalnya akibat
kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tersebut tidak dapat difungsikan lagi
sebagai lahan sawah.
Secara
empiris, instrumen kebijakan yang selama ini menjadi andalan dalam pengendalian
alih fungsi lahan sawah adalah aturan pelaksanaan yang terkait dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Akan tetapi proses penyusunan RTRW yang pada umumnya
cukup alot ternyata juga belum menghasilkan petunjuk teknis yang benar-benar
operasional.
Berbagai
upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah telah banyak dilakukan.
Beragam studi yang ditujukan untuk memahami proses terjadinya alih fungsi,
faktor penyebab, tipologi alih fungsi, maupun estimasi dampak negatifnya telah
banyak pula dilakukan.
Beberapa
rekomendasi telah dihasilkan dan sejumlah kebijakan telah dirumuskan. Setidaknya
telah ada lebih dari 12 produk hukum tingkat
pusat, baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi
Presiden, Peraturan Menteri ataupun Keputusan Bersama tingkat Menteri. Akan
tetapi sampai saat ini berbagai kebijakan tersebut belum berhasil mencapai
sasaran. Efektivitasnya masih terkendala oleh belum terwujudnya konsistensi
dalam perencanaan, serta lemahnya koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan.
Kita tentu
ingat bagaimana retorika Ir.Soekarno (1952) memberikan akronim untuk istilah petani
sebagai Penyangga Tatanan Negara Indonesia.
Arti dari kepanjangan petani sebagai penyangga tatanan Negara Indonesia ini
memang dinilai pas dan cocok dengan profesi petani. Peran mereka memang
seperti penyangga, dimana tanpa mereka rakyat Indonesia tentu akan mengalami
krisis pangan. Hal ini tentu akan mengganggu tatanan negara Indonesia.
Lalu bagaimana
dan siapa yang akan memikirkan nasib sang penyangga negara tatkala dihadapkan
dengan situasi keadaan yang memaksa seperti ini…?
Cianjur,
5 Mei 2023
Penulis
0 Response to "Alih Fungsi Lahan Sawah, Salah Siapa…..?"
Post a Comment