Tanah Airku

PERUBAHAN PARADIGMA PERTANIAN AGRIBISNIS MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN (TINJAUAN SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA) Bagian II

 

Paradigma Pertanian Agribisnis       

   Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk.


dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi.

           Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan tersebut.

Sebuah paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan, apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita?. Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka?. Hal ini sangat penting karena jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.

 Identifikasi Pertanian Agribisnis secara Filsafat Ilmu

- Ontologi (Teori Lama/Paradigma Lama Kita) 

Davis dan Goldberg (1957) mendefinisikan agribisnis sebagai berikut:

Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution off-farm supplies, production activities on the farm, and storage, processing and distribution off-farm, commodities and items from them.

Definisi di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud agribisnis mencakup keseluruhan kegiatan mulai dari memproduksi dan distribusi input sampai dengan distribusi hasil pertanian. Perhatikan bahwa on farm, atau usahatani, sebagai kegiatan yang sering disebut secara umum sebagai pertanian, hanya merupakan salah satu bagian dari agribisnis. Jika halnya demikian, agribisnis harus melihat pertanian secara menyeluruh, bukan hanya melihat kegiatan menghasilkan produk-produk pertanian di tingkat usahatani.

Pembangunan agribisnis yang dimaksud adalah  pembangunan agribisnis sebagai satu  kcsatuan sistcm secara sirnultan   dan  harmonis. Pembangunan     agribisnis    dcngan   demikian    mencakup    pembangunan subsistem  agribisnis  hulu,  yaitu kegiatan   ckonomi  yang  menghasilkan sarana  produksi    pertanian  seperti industri  bcnih   atau   bibit,   industri agrokimia,      dan     industri      agrootomotif:      pembangunan       subsistem agribisnis    usahatani     atau   primer   (on-farm),  yaitu   kegiatan    ekonomi yang   menggunakan     sarana    produksi    pertanian     untuk   menghasilkan komoditas   pertanian    primer;   subsektor   agribisnis    hilir  yaitu   kegiatan ekonomi  yang  mengolah   komoditas   pertanian    primer   menjadi   produk­ produk   olahannya,    baik  sebagai  produk   antara    maupun   produk   akhir, beserta      kegiatan       pemasaran       atau      perdagangannya:       subsektor agribisnis      pendukung,      yaitu     kegiatan      yang     menghasilkan       atau menyediakan       jasa      yang     dibutuhkan        oleh     subsistem-subsistem agribisnis    lainnya,    misalnya   perbankan,     transportasi,     penelitian    dan pengembangan,    kebijakan    pemerintah,     maupun    penyuluhan    dan  jasa konsultan.

Pembangunan     agribisnis    sebagai   suatu   sistem   merupakan     cara baru untuk memandang pembangunan pertanian maupun pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Berbagai masalah pembangunan. Seperti peningkatan pendapatan, pembukaan kesempatan kerja, pemerataan pembangunan dan pendapatan, penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan, stabilitas ekonomi, masalah kelestarian lingkungan dan lain-lainnya dapat dipecahkan melalui pembangunan sistem agribisnis. Dengan demikian strategi industrialisasi melalui pembangunan sistem agribisnis akan sesuai jiwa trilogi pembangunan.

-        - Epistemologi (Metode/Mencari Kebenaran)

Adanya backward linkages dan forward linkages sektor pertanian menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dari sektor-sektor lainya. Peranan sektor pertanian menjadi lebih besar jika dinilai dalam konteks adanya keterkaitan ke belakang dan ke depan tersebut. Jika sektor pertanian tidak berkembang dengan baik, maka tidak akan ada kebutuhan terhadap pupuk, obat-obatan, dan peralatan pertanian. Hubungan ini yang disebut keterkaitan ke belakang (backward lingkages) dari sektor pertanian. Keterkaitan antara pertanian dengan pengolahan hasil, disebut sebagai keterkaitan ke depan (forward linkages).

Agribisnis memandang sektor pertanian secara utuh, bukan hanya sektor primer tetapi mulai dari kegiatan pertanian yang menyediakan input sampai dengan kegiatan pertanian dalam pengolahan hasil pertanian, pemasaran, dan jasa penunjang pertanian (agriservices). Dengan cara pandang seperti ini maka kontribusi sektor pertanian dalam pengertian agribisnis menjadi sangat besar. Di waktu yang akan datang, peran sektor pertanian dalam pengertian agribisnis menjadi semakin besar. Perubahan cara pandang di atas mempunyai konsekuensi bahwa pertanian bukan sebagai way of life atau gaya hidup. Pertanian merupakan bagian dari kegiatan bisnis besar yang mempunyai prospek yang baik. Pertanian merupakan kegiatan produktif menghasilkan produk pangan dan serat dengan memanfaatkan sumber daya pertanian seperti tanah, air, hara tanah, sinar matahari, dan lain-lain.

-        Aksiologi (Kesimpulan Yang Didapatkan)

Pengertian agribisnis yang paling banyak dijadikan acuan selama ini adalah pengertian agribisnis yang dikemukakan oleh John Davis dan Ray Goldberg (Davis and Goldberg, 1957). Menurut Davis dan Golberg (1957), agribisnis dipandang bukan hanya kegiatan produksi di usahatani (on-farm), tetapi termasuk kegiatan yang di luar usahatani (off-farm) yang terkait. Pemahaman yang sama juga dikemukakan oleh Downey and Erickson (1989), Downey and Trocke (1981), bahwa agribisnis meliputi kegiatan di usahatani dan di luar usahatani yang terkait dalam pengadaan input pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran hasil.

Paradigma Agribisnis yang Keliru

Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani.

Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal. Sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi.

Seperti halnya industrialisasi yang tanpa didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh. Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani (perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem nilai/budaya berbeda yang lain sekali dengan Petani kita.

           Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian. Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani.

Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.

          Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Amerika tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak.

Dari   sudut   pandang     kelembagaan,   struktur     agribisnis   di Indonesia untuk   hampir   semua   kornoditas  masih   tersekat·sekat.     Struktur    yang tersekat-sekat   ini tentunya    menjadi   penghambat   utama   pembangunan agribisnis   di  Indonesia.     Struktur     agribisnis   yang   tersekat-sekat    ini dicirikan     oleh    beberapa     hal   sebagai    berikut :     Pertama,     subsistem agribisnis  hulu  (produksi  dan  perdagangan  sarana   produksi   pertanian) dan    subsistem    agribisnis    hilir    (pengoIahan    hasil    pertanian      dan perdagangannya)   dikuasai    oleh  pengusaha   menengah  dan  besar  yang bukan    petani. Petani    sepenuhnya    hanya   bergerak    pada   subsistem agribisnis  penghasil  produk   primer.    Kedua,  antar   subsistem  agribisnis tidak    ada   hubungan    organisasi    fungsional   dan   hanya    diikat    oleh hubungan     pasar      produk      antara      yang     juga     tidak     sepenuhnya kompetitif.        Ketiga,     adanya      asosiasi     pengusaha     yang     bersifat horizontal  dan  cenderung  berfungsi  sebagai   kartel.     Berbagai   asosiasi pengusaha   ini  dapat   ditemui   pada   subsistem  agribisnis  hulu   maupun subsistem   agribisnis   hilir.     Keempat,  agribisnis   dilayani    oleh  paling sedikit   lima  departcmen   teknis   (Pertanian,   Kehutanan,   Perindustrian dan   Perdagangan,    Tenaga     Kerja   dan   Transmigrasi,    Koperasi    dan PPK).    Berbagai    departemen    ini   tentunya     memiliki    visi   ataupun mandat   yang   berlainan,   sehingga    berbagai   kebijakan  yang  ditujukan pada  agribisnis  belum  tentu   integratif   dan  selaras   satu  dengan   lainnya dipandang  dari  sudut   agribisnis  sebagai  suatu   sistem.

Struktur     agribisnis   yang   tersekat-sekat    tersebut    akan   menyulitkan upaya       pembangunan       pertanian         yang       dimaksudkan       untuk meningkatkan   pendapatan   petani.    Porsi  ekonomi  petani  yang  terbatas pada    subsistent      agribisnis      usahatani      rnenjadikan      peluang     untuk meningkatkan     pendapatannya     relatif  keeil.   Ada  beberapa   alasan   yang dapat   dikemukakan     untuk    itu,  yaitu:     (a)    Dalam   sistem   agribisnis, nilai  tambah   yang  terbesar   berada   pada  subsistem    agribisnis   hulu  dan subsistem    agribisnis    hilir.    (b) Petani   berada   di  an tara   dua  kekuatan eksploitasi      ekonomi,     yaitu     pada    pasar     sarana      produksi     petani monopsonistik.     Petani dalarn   menghadapi    kedua  pasar   tersebut   selalu dalam   posisi  yang   kalah.     Keadaan   yang  demikian    ini  me nyebabkan upaynupava     peningkatan    produktivitas    ditingkat   petani   tidak  secara otomatis    berarti    peningkatan     pendapatan.       Manfaat    pengernbangan teknologi   baru,   pengembangan     infrastruktur      pedesaan,    subsidi   harga produksi,     dan    subsidi    melalui    pcrkreditan      yang   ditujukan untuk       mcningkatkan         produktivitas         usahatani         relatif      sedikit manfaatnya  pada  petani.

Permasalahan       struktural       yang    dihadapi     agribisnis      tersebut     juga berakibat    pada   lernahnya    daya   saing   agribisnis,    Struktur    agribisnis yang    tersekatsekat       dapat     menciptakan       masalah      transrnisi    dan masalah    marjin   ganda. Masalah   transmisi    ini  terjadi   dalarn  berbagai bentuk,     sepcrti     rnisalnya      transmisi      harga     yang     tidak    sirnetris. informasi    perubahan     preferensi    konsumen    yang   tidak   dapat   sampai dengan   baik   ke  arah   subsistem    hulunya,    serta    adanya    inkonsistensi mutu   produk   sejak  dari   hulu  sampai   ke  hilir  dalam   sistem   agribisnis. Lebih   jauh    lagi,   struktur     yang   tersekat-sekat     menjadikan     inovasi berjalan    lambat    disetiap    subsistem    agribisnis. Sedangkan     marjin ganda  di agribisnis    terjadi   melalui   praktek   penetapan    harga  yang  jauh di  ata harga    pada   kondisi   kompetitifnya     di  setia subsistem    yang tersekat·sekat      tersebut. Dampak   nyata   dari   marjin   ganda   ini  adalah harga   pokok  penjualan    produk   akhir   agribisnis    menjadi   relatif  tinggi, sehingga    daya   saingnya     menjadi    rendah,       Masalah     transmisi     dan masala marjin   ganda  juga  berdampak    buruk   bagi  investasi   dibidang agribisnis,     karena     masalah     tersebut     dapat     menyebabkan      naiknya resiko  usaha.

Penataan      dan    pengembangan       struktur      agribisnis      nasional     perlu diarahkan    pada  dua  sasaran   pokok,  yaitu:  Pertama,     mengembangkan struktur    agribisnis    yang   terintegrasi     secara   vertikal    mengikuti   aliran produk,       Struktur      agribisnis     yang   terintegrasi      secara    vertikal    ini memungkinkan      subsistem    agribisnis    dari   hulu    sampai   hilir   dikelola dengs"      efisien     dan    saling     mendukung       satu     subsistem      dengan subsistem    lainnya. Intcrgrasi    vertikal   akan   memudahkan     penerapan sistem   manajemen    yang  ditujukan    pada   peningkatan     daya  saing   dan peningkatan      kualitas. Kedua,    mengembangkan      organisasi     bisnis pctani   agar    mampu   mcmperoleh     nilai  tambah   yang  ada  di  subsistcm hulu  maupun   hilir dari  sistem  ngribisnis.    Secara  individu  petani   akan sulit  merebut   nilai  tambah   tcrsebut.

Keberhasilan     pembangunan     agribisnis    di  Indonesia    ditentukan     juga oleh  arah   kebijakan    ekonomi   makro.     Pembangunan     yang  diarahkan pada  industriahsasi     yang  t.iriak memiliki   basis  sumbcrdaya    yang  kuat, seperti     md ustri     subst.itusi     impor,     sering     melahirkan      kebijakan­ kebijakan       mnkro     yang     mengharnbat       perkembangan        agribisnis. Berbagai     kebijakan     ekonomi     makro    diarahkan      untuk     menopang industrtalisasi      yang    kem ud ian   secara    langsung    atau    tak   langsung menyebabkan       distorsi      harga     yang     menghambat       perkernbangan agribisnis.

Kebijakan   nilai  tukar   Rupiah   yang  secara   artifisial   dibuat   kuat,   yaitu sebelum   Indonesia    mengalarni    krisis   moneter,   merupakan    salah   satu contoh    bagaimana      kebijakan     ekonomi    makro    dapat    menghambat agribisnis.     Nilai  tukar   Rupiah  yang  dibuat   kuat  akan  menguntungkan industri-industri     yang   menggunakan     bahan    baku   dari   irnpor   untuk dipasarkan     di  pasar   domestik.     Sebaliknya    bagi  industri    atau   sektor yang  menggunakan     bahan   baku  domestik   dan  diarahkan    untuk   pasar ekspor,    kuatnya     nilai   tukar    mata    uang   dapat    menyebabkan      daya saingnya    melemah,      Agribisnis    pada   dasarnya    menggunakan     bahan baku   yang   berasal    dari   dalam    negeri   dan   banyak    produknya    yang dimaksudkan    juga  untuk   melayani   pasar   internasional,     sehingga   nilai tukar      Rupiah      yang     secara      artifisial      dibuat      kuat     merugikan pembangunan     agribisnis,

Kebijakan    tarn   yang  tinggi  untuk   memberikan    proteksi   pada  industri yang  bersifat   substitusi    impor  ternyata    memberikan   dampak  juga  pada perkembangan      agribisnis. Proteksi    yang   berlebihan    yang   diberikan pada    industri-industri      tertentu     dapat    menyebabkan     distorsi    dalam alokasi    sumberdaya. Industri-industri      yang   memperoleh     proteksi menjadi   tampak    lebih   menarik    di  mata   investor,   sedangkan    industri yang  termasuk    ke  dalam   agribisnis   dianggap   kurang   menguntungkan, dan  juga  berusaha    di bidang   agribisnis    dianggap   memiliki   resiko  yang lebih  tinggi. Akibatnya,   sumberdaya    kemudian    lebih  banyak   mengahr ke   industri-industri      yang   memperoleh     proteksi    dan   bidang    usaha agribisnis    yang   memiliki   basis   kuat   sebaliknya    mengalami    kesulitan memperoleh      modal     untuk      investasi      ataupun      usaha.      Kebijakan industrialisasi       berspektrum      luas    ataupun     industrialisasi      substitusi irnpor yang  selarna   ini diterapkan     menimbulkan    struktur    insentif  yang diskrim  inasi   yang   merugikan    pernbangunan     agribisnis    dan   pertanian pe nghasil  produk   primer.

Kebijakan      ckonomi      makro     yang      diarahkan        untuk      menopang industrialisasi     yang  dilakukan    tcrnyata    tidak   saja  herdampak    negatif bagi    porkembangan       agribisnis,      melainkan      juga    berdampak     pada menguatnya      ketimpangan      pembangunan      perkotaan     dan    pedcsaan. Berbagai      infrastruktur         yang     dibangun      lcbih     diarahkan       untuk menopang    strategi     industr-ialisnsi     yang   ditujukan     untuk    substitusi impor.     ludustri-industri        ini  um um nya   bcrlokasi    di  perkotaan     atau daerah       sekitar       perkotaan.        Berbagai     sarana       dan      prasarana transportasi     dan   telekomunikasi      dibangun    untuk   memperlancar     dan memporrnudah    jalannya    bisnis  industri    ini.   Akibatnya,   perkembangan fasilitas    publik   di  perkotaan    jauh    melarnpaui    ya ng  dibangun    untuk daerah   pedcsaan.

Kebijakan      industrialisasi        yang     bersifat      spektrum      luas     maupun industri   substitusi    impor  umumnya    bertumpu    pada  upah   tenaga   kerja yang    murah.      Upah     tcnaga     kerja     ini    sering     dikaitkan      dengan kebutuhan    hid up  minimum.     Dengan   demikian   agar  upah   dapat   tetap rendah,   maka   harga-harga     berbagai   kebutuhan    pokok  (pangan)   harus dijaga  tetap   rendah.     Keadaan    ini  tentu   membuat   pembangunan     yang dilakukan    semakin    bias  ke  perkotaan    dan  mendiskriminasi      pedesaan dan  agribisnis.


....Bersambung...





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERUBAHAN PARADIGMA PERTANIAN AGRIBISNIS MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN (TINJAUAN SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA) Bagian II "

Post a Comment