Tanah Airku

PERUBAHAN PARADIGMA PERTANIAN AGRIBISNIS MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN (TINJAUAN SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA) Bagian III

 Perubahan Paradigma Lama

Petani   di  Indonesia    tidaklah    homogen   ditinjau   dari  karakteristiknya. Ada  petani


   yang  dapat   digolongkan   sebagai   petani   komersial,   di mana ia menghasilkan    produk   untuk   sepenuhnya    dijual  ke pasar. Pada  sisi yang   lain,  ada  petani   yang  digolongkan   sebagai  petani   yang  subsisten ataupun     serni-subsistcn,    dimana     tidak     seluruh      produk     yang dihasilkannya         untuk       keperluan       dijual      ke pasar      melainkan sebagiannya    untuk   keperluan    konsumsi   sendiri.   Perilaku   pengambilan keputusan  kcdua  golongan  petani   ini diperkirakan  dapat  saja  berbeda, sehinugn   reaksi  pctani   terhadap    suatu   kebijakan   pcmerintah    mungkin saja  borbcda  di antara  pctani  dengan   karakteristik    yang  berbcda.    

Bagi petani    subsisten     ataupun    semisubsistcn.     keputusannya     sebagai rumahtangga       mungkin    tidak    dapat    dipisahkau     dengan    keputusan petani    sebagai    produscn.      Dengan   demikian    analisis   sosial-ekonomi rumah tangga   petani   di  Indonesia, perlu  terus  dikembangkan.       Tanpa adanva   pengetahuan    yang  tepat  terhadap  perilaku   petani  di Indonesia. Ini   akan   sulit   diharapkan     kebijakan    apapun   yang   ditujukan     bagi petani    dapat    mencapai     tujuannya, Pembangunan    agribisnis   di Indonesia   di masa  mcndatang    menghadapi tantangan      yang   lebih   kompleks    dibandingkan      masa   lalu.      Proses globalisasi     dalam    perekonomian,     yang    disertai    dengan    kesadaran demokrasi    yang    meningkat,     membawa    konsekuensi     berbeda     dalam praktek    pembangunan     maupun   dalam   praktek   bisnis.    Tuntutan    akan peningkatan      efisiensi    yang    disertai     dengan    tuntutan      pemerataan keadilan        menjadikan        konsep-konsep         agribisnis        yang       telah dikumandangkan         pada      masa      lalu     perlu      terus      diperbaharui.

Perusahaan-perusahaan  agribisnis,      yang     umumnya      bersentuhan langsung      dengan     usaha     petani     skala     kecil,   perlu    mempertajam maupun     mempraktekkan       {food   corporate  govermsnce     agar    dapat sustain  dalam  jangka   panjang.    Oleh  sebab  itu,  pengembangan     konsep agribisnis    maupun    konsep   pembangunan     agribisnis    di  masa   datang perlu     lebih     menekankan       pada     aspek     kelembagaan      dan     aspek govermance dan  responsibility dari  pihak-pihak    yang  ada  di dalamnya. petani,   perusahaan,    dan  pemerintah.


Analisis Peradigma Baru Pertanian Berkelanjutan Secara Filsafat Ilmu

-        Ontologi  (Teori/ Paradigma Baru)

Kini tidak mudah lagi menyepakati apa yang dimaksud dengan pembangunan Pertanian Berkelanjutan, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I  kebijakan dan strateginya dengan mudah dilanggar, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa disertai pemerataan dan keadilan sosial.

Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial padahal Repelita I pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanjakan” oleh minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri promosi ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.

Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian.

Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin mengadakan pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis.

Jika konsekuen Kementerian Pertanian juga perlu diubah menjadi Kementerian Agribisnis atau Institut Pertanian diganti menjadi Insitut Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan nilai dan budaya petani dan pertanian kita.

-        Epistemologi (Metode/Mencari Kebenaran)

Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh angenberg, maka keberhasilan pembangunan tentunya juga harus dilihat dari capaian  keempat  dimensi  pembangunan  berkelanjutan,  sehingga  akan  terlihat kinerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya terkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak lingkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian, karena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh.

Begitu pula dengan pembangunan yang  mengabaikan  pembangunakelembagaasehingga  memunculkan senjangan  ekonomi  dan  sosial.  Kesenjangan  sering  kali  menjadi  alasan jadinya konflik bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim seperti separatisme. onflik seperti ini tentu akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan di asa yang akan datang.

Fenomena kesenjangan pendapatan dan kerusakan lingkungan akan lebih pantau  bila  ukuran  pembangunan  yang  dipergunakan  juga  sensitif  terhadap uran    kesenjangan    dan    kualitas    lingkungan.    Indikator    pembangunan rkelanjutan yang berkembang selama ini di Indonesia belum mencakup empat mensi pembangunan berkelanjutan secara utuh. Penghitungan Produk Domestik uto (PDB) hijau hanya melibatkan dimensi ekonomi dan lingkungan. Penelitian ntang genuine saving hanya menyentuh dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. kuran pembangunan berkelanjutan berupa indeks komposit pernah pula digagas eh beberapa institusi dan peneliti. Namun indeks komposit ini juga masih elibatkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimensi kelembagaan tidak munculkan sebagai dimensi tersendiri, namun secara implisit tergabung pada mensi sosial. Karena indikator kelembagaan hanya bagian kecil dari dimensi sial, maka bobot kelembagaan dalam indeks komposit menjadi sangat kecil, dahal  permasalahan  kesenjangan  yang  menjadi  salah  satu  indikator lembagaan cukup menonjol di Indonesia.

Pembangunan  berkelanjutan,  yang  memunculkan  dimensi  kelembagaan bagai  dimensi  tersendiri,  dipandang  sangat  tepat  untuk  kondisi  Indonesia. ondisi ini diharapkan berdampak pada meningkatnya perhatian pada dimensi lembagaan, tanpa mengabaikan dimensi yang lain. Sebagai dimensi tersendiri lembagaan akan memiliki bobot  yang lebih  besar dalam mengukur capaian mbangunan. Untuk itu, penyusunan indeks komposit yang memasukkan empat mensi  pembangunan  berkelanjutan  (ekonomi,  sosial,  lingkungan  dan lembagaan) akan menjadi bagian penting dari pembangunan berkelanjutan pada mumnya, dan khususnya untuk pembangunan kelembagaan.

Selain menjabarkan pembangunan berkelanjutan ke dalam empat dimensi, angenberg juga mengidentifikasi empat modal pembangunan. Keempat modal mbanguna tersebut   adalah   man-made   capital,   human   capital,   natural pitaldansocial  capital.  Keseimbangan  penggunaan  keempat  modal  tersebut akan  mendorong  terciptanya  pembangunan  berkelanjutan.  Hingga  saat  ini, rhatian terhadap tiga modal yang pertama lebih dominan dibandingkan dengan odal yang terakhir.

Padahal di sisi lain, modal sosial diduga dapat mereduksi rmasalahan  pembangunan  yang  telah  disebutkan  sebelumnya.  Modal  sosial harapkan akan mampu mengurangi terjadinya kesenjangan pendapatan dengan norma saling membantu.  Modal  sosial juga  diduga mampu  mencegah lingkungan dengan adanya kearifan lokal. Modal sosial juga menjadi ama untuk dapat mewujudkan kelembagaan yang kuat. Sebagai salah satu dalam   pembangunan,   sudah   sepatutny modal   sosia mendapatkan n yang seimbang dengan modal yang lain.

-        Aksiologi (Kesimpulan Yang Didapatkan)

Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun pertanian berkelanjutan sudah dapat mencakup upaya-upaya mewujudkan keadilan namun pedoman-pedoman moralistik, manusiawi, nasionalisme, dan demokrasi/ ’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam pengertian berkelanjutan.

Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani.

Misalnya dalam kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman raskin ke daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh petani tebu rakyat.

Tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani.

Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.


bersambung ........................

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERUBAHAN PARADIGMA PERTANIAN AGRIBISNIS MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN (TINJAUAN SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA) Bagian III "

Post a Comment