Tinjauan Hukum Tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat.
No
|
Peraturan/Perundangan
|
Garis Besar Isi Berkaitan Dengan Alih Funsi Lahan Pertanian
|
1
|
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
|
Pasal 5 ; Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya
|
2
|
UU No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
|
Pasal 5 ; Lahan Pertanian Pangan yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat berupa:
a. lahan beririgasi;
b. lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan/atau
c. lahan tidak beririgasi.
|
3
|
PP Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
|
Pasal 66 ayat 1 poin b ; Kawasan peruntukan pertanian ditetapkan dengan kriteria : sebagai lahan pertanian pangan abadi
|
4
|
PP Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Petanaan Ruang
|
penetapan peraturan zonasi dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota,
|
5
|
PP Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan Dan Alih Fungsi Lahan
|
Pasal 17 ; Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan memerlukan perlindungan khusus dengan mempertimbangkan:
a. luas kawasan pertanian pangan;
b. produktivitas;
c. potensi teknis lahan;
d. keandalan infrastruktur; dan
e. ketersediaan sarana dan prasarana pertanian.
|
6
|
PP Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
|
Pasal 1 ; Insentif adalah pemberian penghargaan kepada Petani yang mempertahankan dan tidak mengalihfungsikan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
|
7
|
PP Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Sistem Informasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
|
Pasal 1 ; Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah kesatuan komponen yang terdiri atas kegiatan yang meliputi penyediaan data, penyeragaman, penyimpanan dan pengamanan,pengolahan, pembuatan produk Informasi, penyampaian produk Informasi dan penggunaan Informasi yang terkait satu sama lain, serta penyelenggaraan mekanismenya pada Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
|
8
|
PP Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
|
Pasal 2; Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan bertujuan untuk menjamin ketersediaan Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Pelaku Usaha.
|
9
|
Permentan No 41 Tahun 2009 Tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian
|
· Kawasan pertanian pangan pada lahan basah yang telah diusahakan secara terus menenus tanpa melakukan alih komoditas yang mencakup satuatau Iebih dan 7 (tujuh) komoditas utama tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubijalar).
· Petani bersedia untuk tidak mengalihfungsikan lahannya menjadi lahan bukan pertanian
|
10
|
Permentan No. 7 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Kriteria dan persyaratan kawasan, lahan, lahan cadangan LP2B
|
· Memiliki hamparan lahan dengan luasan tertentu sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau Lahan Cadangan Pertanian
· Pangan Berkelanjutan; danmenghasilkan pangan pokok dengan tingkat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan sebagian besar masyarakat setempat, kabupaten/kota, dan/atau nasional.
|
11
|
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No.22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2029.
|
Pasal 15 ayat 3 ; Kebijakan pengembangan kawasan budidaya meliputi mempertahankan lahan sawah berkelanjutan serta meningkatkan produktivitas pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan guna menjaga ketahanan pangan Daerah dan nasional;
|
12
|
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No.27 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
|
Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dimaksudkan untuk melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan guna menjamin ketersediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, melalui pemberian insentif kepada petani dan penerapan disinsentif kepada pihak yang melakukan alih fungsi lahan pertanian pangan.
|
13
|
Peraturan Daerah Kab. Cianjur No.17 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur Tahun 2011 – 2031.
|
Pasal 36 ; Kawasan peruntukan tanaman pangan seluas kurang lebih 21.502 hektar, akan ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)
|
Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (a) Kebijakan yang kontradiktif; (b) Cakupan kebijakan yang terbatas; (c) Kendala konsistensi perencanaan.
Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian.
Yang kedua, cakupan kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap perusahaanperusahaan/badan hukum yang akan menggunakan tanah dan/atau akan merubah tanah pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah kenon pertanian yang dilakukan secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut. Padahal perubahan fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas.
Kendala konsistensi perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin lokasi adalah instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis. Dalam kenyataannya banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian. Dari data Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional menunjukkan seandainya arahan RTRW yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6 %) yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4 %) terancam teralihfungsikan ke penggunaan lain.
Data dari Direktorat Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah terkonversi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Jawa.
Kelemahan lain dalam peraturan perundangan yang ada yaitu : (i) Objek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku; (ii) Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (iii) Jika terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena ijin konversi adalah keputusan kolektif berbagai instansi. Selain itu dua faktor strategis lain adalah pertama, yang sifatnya fundamental adalah petani sebagai pemilik lahan dan pemain dalam kelembagaan lokal belum banyak dilibatkan secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi. Kedua, belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi, serta pengembangan kompetensi lembaga-lembaga formal dalam menangani alih fungsi lahan pertanian. Beberapa kelemahan dan keterbatasan tersebut di atas telah menyebabkan instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selama ini telah disusun tidak dapat menyentuh secara langsung simpul-simpul kritis yang terjadi di lapangan.
Dalam beberapa hal alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lainnya bersifat dilematis. Pertambahan penduduk dan pertumbuhan kegiatan ekonomi yang pesat di beberapa wilayah memerlukan jumlah lahan non pertanian yang mencukupi. Namun demikian, pertambahan jumlah penduduk juga memerlukan supply bahan pangan yang lebih besar, yang berarti lahan pertanian juga lebih luas, sementara total luas lahan yang ada berjumlah tetap.
Sebagai akibatnya telah terjadi persaingan yang ketat dalam pemanfaatan lahan yang berakibat pada meningkatnya nilai lahan (land rent) maka penggunaan lahan untuk pertanian akan selalu dikalahkan oleh peruntukan lain seperti industri dan perumahan.
Meskipun nilai intrinsik dari lahan pertanian, terutama sawah, jauh lebih tinggi dari nilai pasarnya, namun nilai-nilai tersebut belum tercipta ‘pasarannya’ sehingga pemilik lahan/petani belum memperoleh nilai finansialnya.
Di sisi internal sektor pertanian, berbagai karakteristik dariusahatani sendiri belum sepenuhnya mendukung ke arah pelaksanaanpelestarian lahan pertanian yang ada. Sempitnya rata-rata luas lahan yang diusahakan petani karena proses fragmentasi yang disebabkan sistem waris pecah-bagi makin memarjinalkan kegiatan usahatani.
Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi mencukupi mendorong penerapan teknologi baru untuk peningkatan produktivitas. Yang terjadi kemudian bukan modernisasi (penerapan teknologi yang up to date) tapi penjualan lahan pertanian untuk penggunaan lainnya (alih fungsi lahan pertanian). Hal lainyang memperparah adalah dengan adanya desentralisasi maka daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pertumbuhan untuk pendapatan daerah yang lebih besar.
Yang terjadi kemudian adalah daerah mengutamakan pengembangan sarana dan prasarana fisik yang juga berakibat pada penggunaan lahan sawah secara langsung atau peningkatan nilai lahan karena penawaran yang lebih baik.
Dengan rumitnya persoalan yang alih fungsi lahan pertanian itu maka upaya pemecahannya tidak mungkin dilakukan secara parsial sebagaimana pendekatan yang dilakukan selama ini. Diperlukan pendekatan yang menyeluruh, dengan melibatkan semua pihak terkait secara aktif.
Penggunaan lahan merupakan resultante dari interaksi berbagai macam faktor yang menentukan keputusan perorangan, kelompok, ataupun pemerintah. Oleh karena itu proses perubahan penggunaan lahan sifatnya sangat kompleks. Mekanisme perubahan itu melibatkan kekuatan-kekuatan pasar, sistem administratif yang dikembangkan pemerintah, dan kepentingan politik. Peranan pasar dalam proses alokasi penggunaan lahan sudah banyak dipelajari yang mendasarkan pada efisiensi. Oleh karena itu, tingkah laku individual yang dimasukkan dalam mekanisme pasar didasarkan pada nilai penggunaan (utility) yaitu highest and best use.
Secara teoritis, sejauhmana efisiensi alokasi sumberdaya lahan dapat dicapai melalui mekanisme pasar, akan tergantung apakah hak pemilikan (ownership) dapat mengontrol himpunan karakteristik sumberdaya lahan. Himpunan karakteristik ini antara lain adalah : eksternalitas, inkompatibilitas antar alternatif penggunaan, ongkos transaksi, economies of scale, aspek pemerataan, dan keadilan.
Dalam prakteknya, pemerintah di sebagian besar negara di dunia memegang peran kunci dalam alokasi lahan. Dengan sangat strategisnya fungsi dan peran lahan tanah dalam kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) maka pemerintah mempunyai legitimasi kuat untuk mengatur kepemilikan/penguasaan tanah. Peran pemerintah dalam alokasi lahan sumberdaya lahan dapat berupa kebijakan yang tidak langsung seperti pajak, zonasi (zoning), maupun kebijakan langsung seperti pembangunan waduk dan kepemilikan lahan seperti hutan, daerah lahan tambang, dan sebagainya.
Dengan demikian peranan pemerintah melalui sistem perencanaan wilayah (tata guna) ditujukan untuk: (1) menyediakan sumberdaya lahan untuk kepentingan umum, (2) meningkatkan keserasian antar jenis penggunaan lahan, dan (3) melindungi hak milik melalui pembatasan aktivitas-aktivitas yang membahayakan.
Penulis :
Dandan Hendayana,SP.MP (Kasi PSP.TP Distan P2H Kab.Cianjur)
0 Response to "Tinjauan Hukum Tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian"
Post a Comment